Senin, 13 Juni 2011


 
MENDESKRIPSIKAN PERSEPSI UJARAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikoliguistik.




Disusun oleh:
Ari Fatmawati (107013000377)
Moh. Ade Irwan Saputra (10703000792)
Utami Setiawati Darmadi (107013000657)




JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009




BAB I
PENDAHULUAN

1.1               Latar Belakang
Ketika kita mendengarkan orang lain berbicara, tanpa kita sadari kita dengan begitu saja dapat memahami apa yang dia katakan. Akan tetapi, proses untuk mewujudkan ujaran tersebut adalah suatu hal yang sangat tidak mudah.
Dalam prosesnya, kita harus bisa meramu bunyi-bunyi yang didengar sedemikian rupa agar bunyi itu bermakna dan cocok dalam konteks dimana kata-kata itu dipakai. Hal ini mungkin terasakan dengan sendirinya secara naluri apabila dilakukan oleh orang yang fasih berbahasa tertentu atau penutur aslinya. Lain halnya dengan penutur asing yang harus bekerja keras untuk melalui proses ini.
Oleh karena itu, untuk menangkap suatu ujaran bukanlah suatu proses yang sederhana. Kita harus mulai dahulu dengan proses bagaimana kita mencerna bunyi-bunyi itu sebelum kita dapat memahaminya sebagai ujaran.
Pada makalah ini, akan dibahas bagaimana persepsi manusia terhadap bunyi bahasa dan bagaimana bunyi itu keluar dan bisa dipahami manusia sebagai sebuah ujaran.

1.2        Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah malakah ini adalah:
  1. Apa saja masalah dalam persepsi ujaran?
  2. Bagaimana mekanisme ujaran?
  3. Bagaimana persepsi terhadap ujaran?
  4. Apa saja model untuk mempersepsikan ujaran?
  5. Apa yang dimaksud dengan mempersepsikan ujaran dalam konteks?


1.3        Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
  1. Mengetahui masalah dalam persepsi ujaran.
  2. Mengetahui mekanisme ujaran.
  3. Mengetahui persepsi terhadap ujaran.
  4. Mengetahui model-model untuk mempersepsikan ujaran.
  5. Mengetahui bagaimana mempersepsikan ujaran dalam konteks.


















BAB II
PEMBAHASAN


2.1         Masalah dalam Persepsi Ujaran
Dalam bahasa Inggris, orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap menit. Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata dan pelelang bisa mencapai lebih dari itu (Gleason dan Ratner 1998). Jumlah ini tentunya didasarkan ada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku satu, misalnya book, go, it, come, dsb. Untuk bahasa Indonesia, belum ada orang yang menelitinya, tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya bersuku dua atau lebih (makan, tidur, membawa, menyelesaikan), maka jumlah kata per menit yang diujarkan oleh orang Indonesia pastilah lebih kecil dari angka di atas, mungkin sekitar 80-110 kata.
Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar pita suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih “berat”. Suara anak lebih tinggi dari suara wanita, karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan ini tentu saja memunculkan bunyi yang berbeda-beda. Meskipun kata yang diucapkan itu sama.[1]

2.2         Mekanisme Ujaran
Paru-paru adalah salah satu alat pernapasan manusia dan juga merupakan sumber bunyi yang diucapkan oleh manusia. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat gambar di bawah ini:



Keterangan :
1.      Paru-paru
2.      Batang tenggorokan (trachea)
3.      Pangkal tenggorok (larynx)
4.      Pita suara (vocal chords)
5.      Rongga kerongkongan (pharynx)
6.      Anak tekak (uvula)





 




(Skema perjalanan udara sebelum mengeluarkan ujaran)

Semua bunyi yang dikeluarkan melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara itu, bunyi yang dikeluarkan melalui mulut disebut bunyi  oral.
Ada dua bagian pada mulut manusia, yakni bagian atas dan bagian bawah. Pada umumnya, bagian atas mulut tidak bergerak, sedangkan bagian bawah mulut bisa digerakan. Adapun bagian-bagian mulut tersebut adalah:
  1. Bibir. Bibir mempunyai bagian yaitu bibir atas dan bibir bawah. Bunyi yang dihasilkan disebut bunyi bilabial. Misalnya, bunyi [p], [b], dan [m].
  2. Gigi. Gigi menghasilkan bunyi karena berlekatan dengan bibir, dan bunyi yang dihasilkan disebut bunyi labiodental. Misalnya, bunyi [f] dan [v]. Gigi yang dihasilkan karena berlekatan dengan ujung lidah, dinamakan bunyi dental. Misalnya, bunyi [t] dan [d] dalam bahasa Indonesia.
  3. Alveolar. Letak alveolar terdapat di belakang pangkal gigi atas. Jika ujung lidah menempel pada alveolar, maka akan dibentuk bunyi yang dinamakan bunyi alveolar. Misalnya bunyi [t] dan [d] dalam bahasa Inggris.
  4. Palatal keras. Letaknya terdapat di rongga atas mulut, persis di belakang alveolar. Jika bagian depan lidah ditempelkan pada bagian ini, maka akan menghasilkan bunyi yang dinamakan alveopalatal. Misalnya, bunyi [c] dan [j].
  5. Palatal lunak (velum). Letaknya terdapat di bagian belakang rongga mulut atas. Jika bagian belakang lidah dilekatkan pada bagian palatal lunak, akan menghasilkan bunyi yang dinamakan velar. Misalnya, bunyi [k] dan [g].
  6. Uvula. Letaknya terdapat dibagian ujung rahang atas. Uvula bisa berfungsi sebagai pembuka dan penutup saluran ke hidung. Udara akan keluar melalui hidung apabila uvula tidak berlekatan dengan bagian atas laring. Bunyi inilah yang dinamakan bunyi nasal. Sebaliknya, udara akan keluar melalui mulut apabila uvula berlekatan dengan dinding laring. Bunyi inilah yang disebut dengan bunyi oral.
  7. Lidah. Letaknya dibagian rahang bawah, di samping bibir dan gigi. Lidah bersifat fleksibel sehingga bisa digerakkan secara lentur. Adapun bagian-bagian lidah antara lain : ujung lidah, mata lidah, depan lidah, dan belakang lidah. Bagian-bagian ini dapat digerak-gerakkan dengan cara dimajukan, dimundurkan, dikeataskan, dan dikebawahkan untuk membentuk bunyi-bunyi tertentu.
  8. Pita Suara. Pita suara adalah sepasang selaput yag berada di jakun (larynx). Selaput ini juga bersifat fleksibel yaitu bisa dirapatkan, direnggangkan, dan bisa dibuka. Status selaput suara ini ikut menentukan perbedaan antara satu konsonan dengan konsonan lain.
  9. Faring (pharynx). Saluran udara menuju ke rongga mulut atau ronga hidung.
  10. Rongga hidung. Rongga untuk bunyi-bunyi nasal. Misalnya /m/ dan /n/
  11. Rongga mulut. Rongga untuk bunyi-bunyi oral. Misalnya /p/ dan /b/.

2.3         Persepsi terhadap Ujaran
Ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Oleh karena itu, untuk mempersepsikan suatu ujaran bukanlah hal yang mudah.
Pengucapan suatu bunyi dipengaruhi oleh lingkungan dimana bunyi itu berada. Itu menyebabkan suatu bunyi tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Walaupun demikian manusia tetap saja dapat mempersepsikan ujaran dengan baik. Clark & Clark (1977) membagi proses persepsi bunyi kedalam tiga tahap, yaitu:

1)      Tahap Auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Setelah itu, ujaran di tanggapi dari segi fitur akustiknya. Pada akhirnya ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.
2)      Tahap Fonetik
Pada tahap ini bunyi-bunyi akan di identifikasi.
3)      Tahap Fonologis

2.4         Model-Model untuk Persepsi
Para ahli psikolingistik mengemukakan model-model teoris yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Adapun model-model tersebut antara lain:[2]
a.       Model Teori Motor untuk persepsi ujaran
Model ini menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam Gleason dan Ratner 1998)
b.      Model Analisis dengan sintesis
Model ini menyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner1998).
Ketika suatu deretan bunyi telah di dengar, kemudian bunyi itu di analisis dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah pesepsi yang benar. Bila tidak maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
c.       Fuzzy Logical Model
Model ini menyatakan bahwa persepsi ujaran terdiri dari tiga proses: evaluasi fitur, integrasi fitur dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk di evaluasi, di integrasi dan kemudian di cocokan dengan deskripsi dari prototipe yang ada dalam memori kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, suku kata, atau kata yang kita dengar tidak mungkin persis seratus persen sama dengan prootipe kita.
d.      Model Cohort
Model ini terdiri dari dua tahap (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan
Marslen-Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W. Massaro 1994).  Pertama, tahap dimana normasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita kenal itu memicu ingatana kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata-kata tadi. Pada tahap kedua terjadilah roses eliminasi secara bertahap


e.       Model Trace
Pada mulanya model ini adalah model untuk persepsi huruf, tetapi kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan Rumelhart 1981; Elman dan McClelland 1984; 1986). Model TRACE berdasarkan pada pandanganyang koneksionis dan mengikuti proses top-down. Artinya, konteks lesikal dapat membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap fitur, tahap fonem, dan tahap kata.

2.5       Persepsi Ujaran dalam Konteks
            Bunyi selalu di ujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk suatu deretan bunyi. Lafalsuatu bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan  secara sendiri-sendiri.
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa bunyi  yang berlainan itu  yang secara fonetik berbeda merupakan suatu bunyi yang merupakan satu bunyi yang secara fonemik sama. Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita.  


BAB III
PENUTUP

3.1              Simpulan
Dari penjelsan di atas, dapat kami simpulkan bahwa untuk mempersepsikan suatu ujaran bukanlah hal yang mudah. Karena untuk dapat mempersepsikan suatu ujaran, harus melalui suatu proses yang bisa dikatakan tidak mudah, yaitu mencerna bunyi-bunyi yang dikeluarkan oleh alat ucap manusia.

3.2              Saran
Untuk dapat mempersepsikan suatu ujaran, dibutuhkan ketelitian dan kepekaan dalam mencerna bunyi-bunyi yang dikeluarlkaan oleh alat ucap manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik:Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 203. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
H. P., Ahmad. 2007. Handout Fonologi-Seri Fonetik. Jakarta.



[1] Soenjono Dardjowidjojo, (Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, 2003), hal. 31.
[2] Soenjono Dardjowidjojo, (Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, 2003), hal. 52-55.

Curhat Bacaan Anak


WORLD BOOK DAY
INDONESIA 2009
MEMBACA UNTUK CINTA
MUSEUM MANDIRI
23 APRIL- 17 MEI 2009
Curhat Bacaan Anak (10 Mei 2009, Auditorium)
Oleh :  1. Ali Muakhir
            2. Benny Ramdani
            3. Arleen Amidjaja
            4. Clara Ng
            5. Renny Yuniar
            Untuk menjadi seorang penulis harus siap ditolak, ujar Clara. Khususnya di Indonesia penulisan buku-buku anak itu sangat kecil sekali. Jika kita lihat sepintas menulis untuk anak-anak pasti kita pikir mudah. Nammun pada kenyataannya menulis cerita anak itu sangat sulit. Walaupun menggunakan bahasa yang sangat-sangat sederhana akan tetapi amat sangat menarik perhatian si anak ituu sangat sulit.
            Untuk memulai menulis kita harus menyiapkan konsep-konsep terlebih dahulu. Anak yyang berusia 3-7, 10-13 tahun memandang dunia itu berbeda. Mereka masih berada pada dunia khayal imajinasi yang cukup tinggi. Menurut kak Ali novel anak itu paling banyak 40 halaman. Namun timbul sebuah pertanyaan bagaimana cara agar si anak tersebut suka membaca? Sedangkan jika kita amati dan sama-sama kita ketahui bahwa dunia anak ituu adalah dunia yang suka sekali bermain di bandingkan mereka harus menghabiskan waktu mereka dengan membaca.
            Orang tua adalah pengamat yang jeli seperti spons untuk anak-anaknya, sehingga ia tahu bahwa proses kreatif itu ketika anak sedang ngobrol. Kita perhatikan apa yang mereka obrolkan, kata-kata apa yang banyak mereka keluarkan. Sehingga dari situlah kita bisa apa yang mereka suka dan tidak suka dengan demikan kita bisa mengajak sianak tadi membaca apa-apa yang mereka suka terlebih dahhulu.
            Untuk itu orang tualah yang terlebih dahulu memberikan contoh kepada anak-anaknya agar mereka mau membaca. Disamping membaca pulalah kita dapat mengenalkan permasalahan-permasalahan yang mungkin cukup rumit kepada anak. Karena ada saatnya mereka harus mengetahui permasalahan-permasalahn yang cukup rumit.
            Mengenai tema itu sendiri kita bisa memasukan tema remaja kedalam cerita anak, ujar Ali. Namun tema remaja disini adalah tema tentang perkenalan-perkenalan suatu masalah yang seperti saya dan mbak Clara jelaskan tadi.